Skip to main content

Surat Terbuka untuk Masa Lalu

Β· 6 min read
Muhammad Farid
Summary

Mengingat kembali kepada sosok dirimu yang pernah mewarnai hari-hari yang aku lewati bukanlah hal yang salah karena sosokmu pernah menjadi bagian dari hidupku dan akan selalu menjadi cerita dari diriku. Meski saat ini engkau sudah menemukan cinta yang tak bisa didapatkan dariku, memori tentang kita selalu ada.

Momen Besar​

Sejujurnya aku rindu tentang apa yang kita lakukan. Tapi ini tak pernah jadi alasanku untuk berharap engkau kembali. Aku kembali melihat ke arah dirimu hanya untuk memastikan bahwa senyum dan bahagiamu tidaklah pudar, rasa yang pernah membuat hatiku luluh karenanya. Syukurlah, aku sungguh bahagia melihatmu jauh lebih bahagia disana. Sesekali aku hanya bisa malu, betapa bodohnya tingkahku dihadapanmu, seperti seseorang yang hilang akalnya, menebalnya kulit muka, dan putus urat malu ku. Ingatkah ketika kita berdansa di ruang tengah rumahku? Ingatkah kita datang ke acara keagamaan dengan dress code yang salah, terkesan dress code untuk pergi berkencan πŸ˜‚. Lalu, pertama kali kita terjatuh dari motor. Betapa gemetarnya aku bukan karena rasa sakit yang aku rasakan, bukan juga karena motorku yang tergores, namun takut kamu mengalami apa-apa. Syukurlah dirimu tidaklah mendapati luka yang serius, hingga aku tidak sadar bahwa aku yang terluka. Mungkin itukah rasanya ketika kita sangat peduli kepada orang lain sampai lupa dengan kondisi diri sendiri? Aku mengetahuinya saat itu.

Lalu, saat aku pertama kali mengalami motor mogok. Jujur itu adalah hal yang merepotkan yang pernah aku temui. Bagaimana tidak? Kita berhenti di tengah jembatan layang yang notabene tidak ada bengkel. Belum lagi saat itu cuaca sedang panas, kendaraan sangat padat, dan juga rasa tak enak dari hatiku karena menyusahkan dirimu. Di balik itu, kita juga masih sempat untuk becanda, tertawa dengan riang tak peduli dengan sekitar. Juga tak lupa ketika kita mandi hujan beberapa kali. Saat itu aku mengenakan sepatu baru darimu, tak lama kemudian malah basah oleh hujan deras.

πŸ§‘πŸ»: "Ayolahh terobos aja, udah reda ini" πŸ‘§πŸ»: "Gerimis dikit tapi" πŸ§‘πŸ»: "Yaudah lanjut ga nihh jalannya?" πŸ‘§πŸ»: "Ayo aja aku mah"

Namun, saat beberapa meter menuju tempat tujuan, yang kita dapat malah hujannya kembali deras dan kita hanya bisa menertawakan betapa sialnya kita karena tidak bersahabat dengan cuaca.

Rekurensi Momen Kecil​

Akupun ingat dulu tiada hari tanpa sekadar mengabari dan menanyakan hal-hal kecil, atau mungkin dirimu ingat sesekali kita saling melempar ejekan sampai diri kita bertengkar, namun tetap berbaikan kemudian. Saat dirimu duduk di belakangku, dirimu juga sesekali memelukku, memainkan perutku "Ini udah berapa bulan Pak?"

hahaha aku akui sejak bekerja memang diriku tidak se-kurus saat aku masih sekolah.

Namun, dari sana juga aku menyadari bahwa akupun harus siap kehilanganmu suatu saat ini. Bukannya diriku hanya ingin memanfaatkan dirimu, entah mengapa aku tetap saja berpikir jika suatu saat dirimu pergi. Ya, benar saja, kita sudah tak bersama lagi sekarang.

Percikan Hubungan​

Aku sangat mengingat saat dirimu benar-benar marah saat diriku sudah terlelap tertidur di tengah percakapan kita. Padahal aku tahu engkau sangat tidak menyukai hal itu. Sudah kucari validasi ke beberapa orang dan memang semua orang mengatakan hal itu memanglah menjengkelkan. Namun tetap saja aku tidak bisa bersahabat dengan rasa kantukku. Aku sering berjanji akan melakukan hal yang lebih baik di masa mendatang. Aku ternyata tidak begitu dewasa untuk memenuhi janji itu hingga kamu pun frutasi dan seringkali marah tanpa alasan.

Selain itu, kita sudah bertemu dengan beberapa pihak yang mencoba memisahkan kita, ternyata usaha mereka tidaklah mampu mengalahkan cinta kita. Walau kita menaruh rasa cemburu satu sama lain, akhirnya kita saling mengerti dan menguatkan kembali. Tak bisa disangkal bahwa terkadang umpatan demi umpatan ada disana. Bahkan salah satu diantara kita sudah sama-sama emosi sampai menghilang dan membiarkan puluhan missed call itu ada. Terkadang aku berpikir memang kita tidaklah harus bersama. Ujungnya kita hanyalah membutuhkan untuk menyadari kesalahan masing-masing dan bicara dari hati ke hati.

Menyerah​

Kala itu engkau tidak lagi hadir di pagiku. Tak ada lagi dering pesan masuk darimu, atau emoji hati putih yang sering kau gunakan. Entah apa yang harus aku lakukan saat itu. Saat itu aku tidak percaya dan masih mengatakan kepada diri sendiri bahwa itu hanya ilusi, pertengkaran kita hanyalah mimpi, dan juga yakin bahwa kenyataannya kita masih lah menjadi kekasih. Bahkan aku tak sanggup untuk menghentikan langkah ini untuk terus mempertahankan hubungan yang sudah kita jalani betahun-tahun lamanya. Bertambah hari membuat engkau semakin tidak peduli kepada diriku, walau granat aku makan, peluru aku telan, pisau aku patahkan, engkau tetap saja tidak mengindahkan hal itu. Aku merasa dirimu semakin jauh, lalu akupun mulai menyadari jika yang harus lakukan adalah menyerah.

Langkah Akhir​

Teman-temanku mulai untuk menasehatiku untuk mengibarkan bendera putih, tidak meneruskan hubungan yang sudah di tepi jurang. Bahkan keluargaku ikut menghibur diriku atas apa yang terjadi pada hubungan kita. Hari demi hari yang aku lewati aku semakin sadar bahwa kita sudah jauh berbeda. Ternyata mungkin kita tak ditakdirkan bersama, hanya dipertemukan untuk diambil pelajaran darinya. Aku semakin kuat, akhirnya aku putuskan untuk mengikhlas hubungan yang sudah menjadi paruh dari hidupku. Berat awalnya, tapi aku harus karena aku seringkali membaca kutipan-kutipan dari novel yang ku baca, "Jika itu membuatmu bahagia, ya tak apa."

Tak terasa berhari-hari setelah kita benar-benar tak saling mengabari satu sama lain, aku dengar kabar kalau dirimu telah bersama yang lain. Aku harap keputusan kita ini benar dan membawa bahagia bagi kita berdua. Kita mulai memberi batas pada diri kita, walau seringkali aku yang melewati batas itu. Hingga akhirnya kita benar-benar jauh. Beda denganmu, aku acap kali harus merasakan lagi patah hati.

Aku mengatakan ini bukan karena aku masih mencintaimu, gamon, atau apapun itu. Aku hanya ingin mengingatmu, ingin mengetahui tentangmu, bukan berarti aku ingin kembali. Dan kini akupun bertemu dengan seorang wanita yang kini begitu aku sukai. Ya walaupun aku belum menjalin hubungan dengannya, aku jujur masih ingin menikmati kesendirian sembari menebak takdir Tuhan, wanita mana yang benar-benar aku sayangi dan yang akan menyayangi diriku juga. Setidaknya kita sudah sama-sama bahagia dengan apa yang kita punya sekarang. Aku harap engkau tersenyum seperti aku sekarang tersenyum tiap kali melihat foto ataupun momen dari crush-ku.

Last​

Banyak hal yang sangat aku rindukan dari dirimu. Tentu tidak cukup aku tuliskan semua, mengingat kita menjalani hubungan yang sangat lama. Intinya aku masih merindukan momen-momen yang kita lalui. Tapi mungkinkah engkau juga mengingat dengan jelas sebagaimana aku mengingatnya? Ah, rasanya aku masih ingin menanyakan beberapa hal padamu. Atau sesekali bersenda gurau menjadikan kisah bodoh kita sebagai candaan. Tapi kini kita sudah mempunyai batas masing-masing yang tak mungkin kita lewati. Jadi, Terima kasih ya, setidaknya aku pernah dibahagiakanmu. Semoga kita sama-sama bahagia dan jangan lupa undanglah diriku dan pasanganku kelak ke pernikahanmu😁.

Note: Aku sudah tidak lagi melakukan bad things semenjak kita berpisah.