Keputusan besar menantang kita untuk melangkah maju dengan keyakinan, sementara pilihan-pilihan kecil menari-nari di sepanjang pinggiran pikiran kita. Dalam kebisingan dan keriuhan itu, kita mencoba memilih dengan hati yang jernih, menimbang nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang membimbing jalan hidup kita. Namun, hidup bukanlah sekadar memilih antara hitam dan putih. Pilihan-pilihan itu terkadang memperlihatkan abu-abu yang tak terduga, di mana batas antara benar dan salah terlihat samar. Dalam keabu-abuan itu, kita belajar memperluas perspektif dan merangkul kompleksitas dari pikiran manusia. Kita memahami bahwa hidup bukanlah sekadar memilih jalur yang benar, tetapi juga tentang menerima konsekuensi dari setiap pilihan yang kita buat.
Paradoks Pilihan
Hidup dibangun dari 10% pilihan dan 90% adalah reaksi kita terhadap pilihan tersebut. Itulah yang aku pahami. Saat diri kita menentukan pilihan, ada dua kemungkinan besar yang pasti akan kita ambil: pilihan realistis dan pilihan idealis. Selain dari dua hal tersebut, tentu banyak yang melatarbelakangi kita dalam mengambil keputusan tersebut. Contoh sederhananya adalah saat aku hari Minggu kemarin harus menghadiri undangan pernikahan rekan kerja yang nan jauh disana, tepatnya di Bogor yang berjarak ±40 KM dari indekosku. Pilihannya adalah apakah aku menghadiri dengan naik KRL bersama temanku yang dimana menurutku tidak “menantang” dan tidak memberikan kesan yang berarti, ditambah lagi ketidakdekatan aku dengan rekan itu. Namun, hal itu memberikan keuntungan, yaitu tidak terlalu menguras tenaga. Atau aku pergi dengan mengendarai motor dengan pertimbangan menambah pengalaman diriku menjelajahi kota dan itu yang aku inginkan, namun dengan beban jarak tempuh yang jauh, lelah, panas, macet, dan belum lagi ada kemungkinan untuk tersesat (emang sempet nyasar wkwkwk). Jika kalian ada di posisi tersebut, pilihan mana yang akan kalian ambil? Kalian ambil realistis dengan naik KRL? Tidak masalah dengan pertimbangan simple dan tidak melelahkan. Atau kalian mengambil idealisme dengan berkendara dengan motor? Tidak masalah juga selama keputusan yang kalian ambil itu atas kesadaran diri dan ngga bikin stres sendiri. Kalau kalian mengambil satu keputusan dan ternyata keputusan itu salah dan dengan kesalnya ngedumel sampai kukulutus, bukankah kalian itu hipokrit? Yupp, itulah kalian yang sebenarnya.
Tidak, aku tidak sedang meledek kalian. Aku juga meledek diri sendiri karena aku pun tidak luput dari hal itu. Bisa dibilang, dunia ini penuh dengan ketidakpastian, tentunya aku termasuk di dalamnya. Belakangan ini sedang hype aplikasi media sosial Threads. Jika kalian mengenal diriku, aku orangnya sangat-sangat idealis. Pamanku pun berkata demikian. Aku pun update dengan mendaftarkan pada aplikasi tersebut dan tidak berselang lama aku mendapat banyak "mutualan" baru. Ditambah aku merasa orang lain menganggap aku "ada" di platform tersebut. Belum lagi aku merasa kesepian, jadi aku berusaha untuk “sok akrab” dengan teman-teman virtualku. Aku pun menyingkirkan rasa jaimku hingga datanglah sifat “jamet” pada diriku🤣. Hasilnya yupp aku mendapatkan banyak teman baru, aku merasakan kesenangan seolah muncul rasa yang hilang pada kepingan diri ini. Sampai yaa lumayan lah dapat 200 followers dengan diriku yang palsu ini. Aku bertindak realistis karena aku yang kesepian tidak memiliki teman yang banyak akhirnya punya teman yang meningkat signifikan. Berselang beberapa hari, aku merasakan:
“Apakah teman sebanyak ini memang ingin berteman denganku? Atau hanya kebutuhan angka semata?”
Pada akhirnya, temanku sebanyak itu bukanlah teman. Lagipula saat itu bukanlah aku yang sebenarnya. Memang ada ungkapan:
“Semakin palsu dirimu, semakin luas lingkaran pertemananmu.”
Sial, apa yang sudah aku lakukan. Itu bukan diriku. Ditambah lagi saat orang yang aku kagumi pun daftar pada Threads, dan dirinya tidak jbjb seperti diriku, aku bergumam:
“Apa jadinya aku kalau dia liat aku yang kya gitu (sering jbjb)??? Terus terang itu bukan diriku😭”
Aku melihat dirinya sebagai wanita yang elegan dan akupun ingin dilihat seperti itu. Namun keadaan memaksa untuk menghilangkan kesepian diriku. Jadi mana yang harus diambil, antara idealis dengan tetap elegan dan jaim, atau realistis dengan akrab pada semua orang. Masing-masing memiliki paradoks. Kau pilih realistis, kau akan dianggap caper dan sasimo namun peluang lebih besar untuk menemukan teman. Atau kah idealis yang mengakibatkan dirimu akan terus terenggut oleh rasa sepi dan tidak akan berusaha untuk mencari teman curhat? Betul sekali, aku pun hipokrit, aku ingin idealis namun mengambil langkah yang realistis dan pilihan itu menjadikan beban pikiranku, alias aku menyesal mengambil keputusan itu. Akhirnya aku pun kembali idealis untuk masalah Threads ini.
Pilihan pun tidak luput dari streotip. Ada yang mengatakan pria yang jantan adalah pria yang tidak mengumbar masalahnya pada siapapun. Tentu aku yang sangat idealis ingin menerapkan hal itu. Namun, kembali lagi pada kenyataan bahwa aku pernah memendam semuanya, rasa sedih, kecewa, marah, depresi sendirian. Apa yang terjadi? It’s feel like I'm gonna die. Aku kesepian, aku sakit, aku ingin memvalidasi dari sudut pandang orang lain apakah memang ada yang salah dalam langkahku. Jadi mana yang akan kalian pilih jika di posisiku, apakah idealis dengan tetap menjadi pria yang jantan dengan memikul semua sendiri yang berimplikasi pada paradoks akan menerima rasa sakit yang sangat menyakitkan? Atau kalian akan bercerita dengan paradoks kalian tidak lagi dicap pria jantan? Sekali lagi aku idealis dengan langkah yang realistis. Saat aku sudah banyak bercerita dan sejujurnya terkadang itu tidak terlalu banyak membantu karena tingginya ekspetasiku terhadap orang lain dalam membantuku, jadi aku berpikir mengapa tidak menjadi pria jantan saja dengan tidak usah bercerita? Yapp aku pun kembali hipokrit.
Lingkaran Setan
Hipokrit dengan paradoksnya dapat menyebabkan kejadian yang sama secara berulang. Kejadian yang aku alami sendiri adalah ketika ada teman lamaku yang tidak terlalu dekat menghubungiku untuk curhat. Segenap idealisme diriku pun memenuhi diri ini, aku dengan penuh kehangatan membantu dan menenangkan dirinya dengan harapan aku pun ingin diperlakukan seperti itu. Hasilnya tidak seperti yang aku harapkan. Jika ditilik dengan realistis, tentu aku meladeni temanku tanpa timbal balik yang setimpal hanyalah akan menghabiskan waktu dan tenagaku saja, wasting my time. Kecewa, agak nyelekit karena aku tidak mendapat yang aku butuhkan, yakni perlakuan yang sama dari teman itu. Malah dirinya tiba-tiba menghilang begitu saja dan meninggalkan pesanku hanya sebatas dibaca olehnya. Namun, idealisme kembali mengatakan bahwa untuk membantu teman itu tidak boleh mengharapkan apapun. Jadi yaa walau sudah sakit hati, aku tetap meladeni kembali jika dirinya kembali curhat, dan tebak... kembali dirinya tidak paham dengan maksudku and repeat dengan semua paradoksnya.
Lantas mengapa kau bersikeras meladeni orang lain?
Walaupun tidak mendapatkan hal yang aku dapatkan, aku berpegang teguh dengan prinsip dan idealismeku. Aku bukanlah malaikat yang taat secara konstan. Aku pun bukanlah termasuk Nabi atau Rasul yang dimaksum (yang dijaga oleh Allah SWT dari kesalahan). Aku hanya manusia yang banyak salah, kadang benarnya juga. Wajar jika suatu waktu aku merasa lelah, wajar aku mengeluh dengan idealisme-ku sendiri. Namun, aku tetap saja akan selalu kembali kepada idealisme pada semua hal, termasuk kepada kejadian baru-baru ini.
My Latest Hypocrite Event
Aku tak tahu ini merupakan langkah yang benar atau keliru. Ingatkah dengan segel Tuhan? Yap, aku kembali mencoba untuk melepaskannya. Entah aku berpikir jernih atau tidak, tiba-tiba saja tanpa ragu aku kembali menghubunginya. Tak ada kata-kata yang bisa kuungkapkan karena kecanggungan ini, aku langsung saja membalas story dia yang mengatakan dirinya ingin mengunjungi Pameran Von Gogh Alive di Jakarta. Hei, bukankah ide yang bagus untuk mengajaknya jalan bersamaku menikmati ibu kota berdua? Walau itu terdengar sangat mustahil dan aku awam mengenai Van Gogh (hanya The Stary Night yang aku tahu), aku sangat menginginkannya.
Bukankah kau sangat idealis dengan tidak akan menghubunginya lagi? Apalagi mengajaknya jalan kembali.
Aku sebelum membuat keputusan, selalu mendengarkan intuisiku. Seringkali dirinya membuat story aku ingin membalasnya juga. Namun, intuisiku selalu berkata "TIDAK" dan aku menurutinya. Kali ini aku tidak merasakan halangan, asumsiku intuisi berkata "YA" untuk kali ini. Jujur saja, aku langsung membalasnya dengan stiker dan langsung mematikan data/wifi selulerku karena aku takut hal yang menyakitkan terjadi lagi😂. Hampir saja lupa mematikan ponsel keduaku karena aku menghubungkan WhatsApp di dua handphone. Walau saat itu aku pun tidak bisa tidur karena masih insomnia, aku tetap menahan ke-kepo-an ini. Main laptop? Tentu ada WhatsApp yang berjalan di background process, yasudahlah aku baca buku saja sampai mengantuk wkwkwkw. Benar saja, aku tertidur dengan lampu menyala dan buku di genggamanku. Sembari mengumpulkan nyawa dengan bertanya, "kenapa gua megang buku dan lampu masih menyala?", terbesit, "Ohh iya, gua sengaja ngilang nungguin chat doi". Langsung saja kucari gawaiku di tumpukan bantal dan aku mendapatkan chat ku dibalas sesuai ekspetasi dan tidak ada lagi rasa sakit sejauh ini, belum lagi memanggil namaku di chat-nya. It's feel like...
Langsung saja aku pun kembali membalas pesannya yang dirinya mengatakan jaraknya terlalu jauh dan hal itu juga dilarang. Oleh siapa? Pasti oleh ibunya lahh. Menurutku 15 KM di Jakarta relatif dekat karena aku sudah pernah pergi ke Lotte Mall di daerah Kuningan City dari kantor yang beralamat di Lebak Bulus dengan jarak ke Kuningan sekitar 15 KM (yey akhirnya aku berani menjelajahi Jakarta sendirian walau masih condong ke daerah Selatan). Perihal hal yang dilarang, aku benar-benar ingin membujuk ibunya untuk membolehkan dirinya pergi bersamaku.
Langsung membujuk?
Yakali no context tiba-tiba minta izin wkwkwk. Aku ingin menghubungi ibunya untuk berkenalan dulu.
"Bu, to be honest, I like your daughter. Can I bring her to Jakarta for go to vacation with me?"
Apakah itu gimmick belaka? Tidak, aku serius benar-benar ingin mengenali keluarganya and I ain't afraid. Karena masih terlalu pagi, aku kembali tertidur dan mematikan lampu, namun membiarkan gawaiku terkoneksi dengan internet. Berhubung aku harus menghadiri undangan pernikahan di Bogor, aku pun jarang membuka gawai utamaku karena informasi dari kantor aku dapatkan di gawai kedua. Tentu aku fokus untuk mencari jalan menuju tempat acaranya karena aku memberanikan diri sendirian ke Bogor menggunakan motor sesuai dengan idealisme-ku. Singkat cerita sore hari pun aku sampai di indekosku, karena sudah sore aku tidak mau tertidur untuk menghindari insomnia di malam harinya. Saat ku sudah bersih-bersih dan bersantai, dang it, ternyata dirinya sudah membalas pesanku di pagi hari. Di tengah pesan yang saling kami lempar, dirinya mengirimkan photo view once. Apakah ini benar mengirimkan nomor ibunya? Ataukah ia mengirimkan pap dirinya? Arghhh aku tak bisa membayangkan rasa senangnya jika itu foto dirinya.
Pelan-pelan pak supir...
Karena itu tak bisa di-screenshot ataupun di-save, aku memutuskan untuk membukanya dengan merekam konten di dalamnya menggunakan kedua gawaiku. DANNNN..... benar saja itu nomor ibunya. Wait a moment, is it real? Kenapa ia benar-benar mengirimkan kontak ibunya? Ya walaupun bukan foto dirinya, akupun tetap senang pesan sekali kirim itu tidaklah melenceng dari ekspetasiku. Karena ingin mengerjai dirinya, akupun mengganti WhatsApp Telkomselku dengan foto ibunya seolah-olah aku sedang chat dengan beliau, dan dirinya ternyata percaya🤣. Karena aku ingin menghindari hal-hal yang tak diinginkan seperti dirinya diomeli ibunya atau apalahh, aku langsung saja klarifikasi itu adalah keusilan diriku. Tapi... tiba-tiba juga terbesit ide di kepalaku. Kenapa aku tidak membiarkannya saja agar dirinya menanyakan pada ibunya dan ibunya pun kepo siapa orang yang dimaksud, akhirnya bisa kenal aku deh hehehe. Kenapa baru kepikiran setelah klarifikasi😭. Ahh sudahlah wkwkwk. Karena aku sudah lelah bermacet-macetan dan menempuh total 80 KM, aku pun tertidur seperti biasanya. (Wei tumben ngga insomnia).
Saat keesokan paginya tiba dan aku sudah siap untuk pergi bekerja, aku jarang cek gawaiku saat di indekos dan akan mengeceknya setelah tiba di kantor. Setelah sampai aku pun membalasnya lagi dan sepertinya dia akan membalas sekitar jam 9 karena aku tahu ia sering membalas pesan sekitar jam tersebut. Apa segel Tuhan masih berlaku? Belum, aku masih merasakan intuisiku berkata "YA, LANJUT BANG". Setelah jam kerja dimulai, aku menyiapkan perlengkapan kerjaku dan men-set gawaiku dalam mode don't disturb karena aku seringkali terdistraksi oleh notifikasi gawaiku. Aku hanya ingin mengecek gawaiku jika ada notifikasi dari WhatsApp saja.
Di tengah-tengah pekerjaan, notifikasiku berbunyi. Sudah pasti satu-satunya yang kubunyikan itu notifikasi WhatsApp. Namun, notifikasi ini berbeda. Yap, aku men-set khusus notifikasi dari dirinya dan terus terang itu membuatku tremor. Sial aku jadi tidak fokus saat bekerja saking senangnya. Jantungku pun berdegup kencang dan aku mengetik kode sering typo karena gemetar tanganku (untung tidak ada yang ngeh wkwkwk). Sudah lama aku tidak mendengarkan spam notifikasi itu. Your ringtone in my phone is my favorite notification. Namun, karena aku ingin fokus pada pekerjaan dan tetap menyimpan rasa dag dig dug ini, aku putuskan untuk tidak melihat pesan darinya sampai aku pulang. Benar saja, idealisme dapat bertahan hingga jam kerja usai. Aku berniat untuk melihat dan membalasnya saat tiba di indekos. Namun, apa daya saat sore sebelum pulang diriku merasa tegang leher, sakit kepala dan sakit mata. Mataku jadi sensitif dengan angin saat mengendarai motor hingga sering berair (bukan nangis, beda ini).
"Wahh ini gaakan bener pas pulang"
Benar saja, aku sampai di indekosku langsung menyimpan ransel, menyalakan AC, dan langsung tertidur. Tidak tanggung-tanggung diriku tertidur sampai jam 23:00 hingga melewatkan shalat Maghrib dan Isya. Seperti biasa, aku masih memahami keadaaan mengapa aku tertidur dengan masih menggunakan baju kerjaku. Ohh iya aku tertidur dari saat pulang kerja. Ahh sialan ini pasti tidak akan bisa tertidur sampai pagi. Aku shalat, cuci muka. Aku rasa ada yang kurang. Ohh iya, aku belum tahu pesan dari dirinya dan aku belum membalasnya. Arghhh, aku takut dirinya sudah malas duluan karena aku terlalu lama membiarkan pesannya delivery. Berhubung masih jam 23:00, aku tahu dirinya pasti belum tertidur. Kalau dirinya tertidur sangat awal, itu pasti bukan dia atau mungkin ia sakit. Aku mencoba saja membalas dengan harapan dirinya masih membalas. Belum apa-apa aku sudah OVT, dirinya pasti sudah ilfeel dalam pikirku :(. Karena tidak bisa tidur, akupun scroll media sosial menunggu diriku cukup mengantuk. Selang beberapa waktu, notifikasi "khusus" dari WhatsApp pun kembali berdering, yang tadinya aku sedang scroll medsos, sekarang aku yang scroll-scroll di kasur wkwkwk.
Sepertinya ini akan menjadi malam yang panjang mengingat diriku sudah tertidur 6 jam, dan dirinya yang sudah pasti belum tertidur juga. Aku memberitahu dirinya aku pun seminggu lalu selalu insomnia karena "gabut" tidak kuliah, yang jadinya masih tersisa banyak energinya. Aku tak mau memberitahu kalau aku OVT tentangnya dan hal yang private lainnya karena aku tidak mau memperlihatkan kelemahanku saat ini karena kami masih banyak sebatas teman biasa. Tak dipungkiri memang aku masih menyukai dirinya, bolehlah sedikit ngode dengan flirting wkwkwk. Kenapa flirting? Karena kalau dia dapat menangkap maksudku itu bagus, kalau tidak ngeh tak apa, kan maksudnya becanda. Aku memuji matanya dengan mengatakan "Now I count the ones (star) in your eyes" dalam konteks dirinya menyuruh diriku untuk menghitung bintang agar cepat tertidur, dan aku tak mau karena aku hanya menghitung bintang satu di matanya (apasiii). Kenapa begitu? Karena memang aku suka dengan matanya yang indah, apalagi saat memakai kaca matanya. Hmmm... daya tariknya semakin 📈. Lalu respons-nya pun seperti yang sudah aku duga, dirinya menangkap itu sebagai candaan :). Beginilah risiko ngode ke wanita independent dan friendly.
Lalu bahasan kami larut sampai bagian OVT. Dengan segenap hati ini, aku kembali untuk menyemangati dirinya juga agar tidak OVT. Kami berdua sepakat bahwa kami tidak bisa denial untuk OVT yang terjadi begitu saja. Yapp selama itu tidak mengganggu keseharian kami, aku dan dirinya sama-sama sepakat akan hal itu. Aku terus terang menyemangati dirinya dari potongan-potongan tulisan sebelumnya yang aku yakini pesanku di tulisan sebelumnya belum tersampaikan. Maka dari itu pada kesempatan yang ada, aku segera menyampaikannya apa yang aku ingat di tulisan sebelumnya. Karena waktu sudah jam 03:00 dan bagiku itu batas maksimal untuk dirinya tidur, aku pun menyarankan dirinya untuk segera tidur. Kalau tidak, akan ku cubit dirinya biar ngerasa sakit dan lekas tertidur (karena dirinya mengatakan kalau sakit, ia bakal cepat untuk terlelap)🤣. Aku pun menyampaikan pesan terakhir sebagai penutup percakapan kami saat itu, dan tiba-tiba juga aku mengatakan hal yang sejujurnya kalau aku senang bisa menghabiskan malam itu dengan bercakap-cakap dan bertukar opini dengannya.
Ngode lagi ngode lagi wkwkwk.
Tak mengapa, karena aku merasakan kembali intuisiku mengizinkan untuk mengatakan sejujurnya. Setelah pesan itu terkirim dan tak kunjung dibaca maupun dibalas, aku asumsikan dirinya sudah tepar hahaha. Karena aku belum kunjung mengantuk, aku pun menyicil sedikit-sedikit tulisan ini. Sampai udah shubuh-an, ehh malah ngantuk kan sueee. Tak mengapa lahh akupun set alarm agar tidak kesiangan dan benar sesuai jadwalnya, aku bangun jam 06:00 dan langsung saja bersiap untuk bekerja, walau ngantuk banget... Untuk mengatasi hal itu, aku pun mengisi bensin sembari membeli kopi di Shell setelah pengisian bensin. Sampai siang ini, aku belum ngantuk alhamdulillah.
Langkah Selanjutnya
Apa hubungan diriku yang hipokrit dengan kejadian terakhir dengannya? Aku sangat idealis menginginkan untuk hubungan sesuai dengan apa yang aku inginkan dan dirinya lah yang aku inginkan. Namun, karena dirinya sudah say no, aku harus menghargai keputusan dan tetap dengan pendirian bahwa aku tidak akan berpacaran lagi. Itu idealismenya. Realistisnya, terus terang aku baper dengan perhatian darinya, apalagi pesannya yang begitu ramah. Lagi dan lagi aku harus tetap sadar bahwa pesan dan perhatiannya bisa saja memang menganggapku sekadar teman, tidak lebih. Oleh karenanya, dengan idealisme-ku, aku ingin menjaga jarak dengannya agar rasa ini tidak terlalu dalam dan menghindari rasa sakit andai memang dirinya hanya menganggapku sebagai teman. Realistisnya, aku ingin tetap berhubungan dengannya, aku tetap ingin perhatian darinya, aku ingin membagikan banyak momen dengannya. Ahhh, benar-benar hipokrit:).
Aku benar-benar belum tahu bagaimana langkahku selanjutnya karena intuisiku juga belum bisa memutuskan mana yang akan aku pilih antara idealis dan realistis. Kalau idealis, aku harus menjaga jarak dan segera mengakhiri percakapanku, namun dengan paradoks aku kembali merasakan sepi. Worst case-nya adalah dirinya menemukan orang lain yang dapat membuat dia lebih nyaman. Mengapa ingin menjaga jarak? Cobakalianmembacahalinidenganseksamaapakahkalianpaham? Paham namun tidak nyaman dibaca kan? Oleh karena itu aku asumsikan aku butuh jarak untuk dapat membuat hubungan ini lebih nyaman selanjutnya (kalau jadi wkwkwk). Selain itu, pertimbangan aku harus idealis pun karena dirinya sering memberikan jawaban yang abu-abu, seperti saat jalan ke jakarta she said, "Nanti deh pikir-pikir dulu" dan saat aku confess pun she said, "Aku belum mikir kesana". Salah satu yang aku pelajari adalah ketika seseorang berdiri di batas abu-abu antara iya dan tidak, sudah jelas jawabannya adalah: "TIDAK". Kenapa? Karena kalau jawabannya iya, aku tidak akan dibuat bingung dan bertanya-tanya. Maka dari itu juga aku belajar untuk bisa tegas mengatakan "YA" atau "TIDAK". Ditambah she indenpendent and friendly too and that means She's just not that into you.
Kalau aku realistis, aku harus maintain percakapan ini agar bisa memberikan kenyamanan. Semakin banyak waktu yang dihabiskan bersama, semakin dalam juga rasa ini. Worst case-nya adalah rasa sakit yang begitu hebat jika dirinya tidak berpikir hubungan ini sampai ke jenjang yang lebih intimate. Walau mungkin ada best case-nya kita bersama dalam hubungan pacaran atau HTS atau semacamnya, aku takut Allah tidak meridhai langkah kita dan mengakibatkan Allah memisahkan kita seperti wanita-wanita yang telah pergi meninggalkanku. Aku tak mau kehilangan lagi seseorang, aku tak mau menyakiti lagi seseorang walau pasti setiap insan ingin hubungan ini tanpa ada masalah. Aku ingin bersama orang yang benar-benar sesuai dengan keinginanku, dan dirinya sangat aku dambakan. Ahh, sebaiknya aku menjalani sesuai dengan intuisiku sekarang, yakni tetap berhubungan dengannya dan berhati-hati agar tidak terlalu baper. Semoga Allah dengan perantara intuisiku membimbingku pada langkah selanjutnya. Pada tulisan ini dibuat, terhitung dirinya sudah membalas pesanku saat dini hari. Aku belum berani membaca bahkan membuka notifikasinya. Akan kubalas saat sudah pulang kerja. Semoga Allah memahami keinginanku untuk bersamanya, dengan cara yang benar juga agar tidak hipokrit seperti kebanyakan orang. Tertanda, Aid yang baru usai masa PMS-nya wkwkwk dan cheers.