Skip to main content

I Can't Sleep, But I'm Tired

· 5 min read
Muhammad Farid
Summary

Ketika keheningan malam menutupi jagad, bintang-bintang berkumpul di langit gelap. Seperti titik-titik cahaya yang tak terhitung jumlahnya, mereka menjadi saksi bisu dari pikiran-pikiran yang tengah dirajut oleh jiwa yang terbuai. Aku berusaha untuk memejamkan mata, namun pikiran-pikiran berkecamuk di kepala, merayap seperti binatang liar yang tak terkendali.

Why?

Aku rasa memang setelah perkuliahan berakhir, aku merasa ada yang hilang. Stagnan kembali menghampiri dan menemani keseharianku. Walau lelah menerka, perkuliahan mengisi bagian dari diriku yang kosong. Di pekerjaan saat sudah santai, bukannya beristirahat, aku malah membuka LMS. Jikalau sempat, aku bahkan langsung menyelesaikannya tugas pada saat itu juga. Memang benar selepas diriku menyelesaikan 19 SKS dengan sempurna, aku bisa kembali menonton film; membaca buku; menulis postingan yang inspiratif; atau bahkan hanya bisa bersantai sejenak melepas penat. Pikirku itu akan sangat menyenangkan. Namun, entah mengapa aku terjaga sepanjang malam. Apakah karena udara yang panas? Tidak juga, apakah karena kafein? Aku malam tidak meminum apapun selain air putih. Lantas mengapa? Aku belum menemukan jawaban pastinya.

Apa yang aku pikirkan?

Seperti yang sudah aku pelajari bahwa aku memang tidak boleh denial terhadap semua emosiku. Aku belajar untuk berteman dengannya. Overthinking, sederhana namun rumit. Walau sudah membaca buku tentang bagaimana cara menghindari OVT, itu tidak menghentikan secara total. Baiklah, biarkan pikiran ini berjalan dan bekerja tanpa aku kekang. Yang pertama mengenai karirku. Melihat sudah tiga tahun aku bekerja, aku melihat satu tahun terakhir ini pencapaian cukup stagnan. Hanya pekerjaan yang monoton. Aku tidak bisa berfokus pada satu bidang yang aku senangi, yaitu Back-End Developer (BE). Melihat juga akun Twitter seorang wanita BE yang berusia 24 tahun I Think yang menurutku memiliki pekerjaan yang sempurna: bisa WFH, jago, sesuai dengan divisi yang aku inginkan, tools dan gadget yang high end, benar-benar sangat profesional.

Hidup jangan membanding-bandingkan dengan orang lain

Setuju. Saat aku melihatnya pun ya aku hanya sekadar kagum. Tak tahu bagaimana, saat malam tiba aku langsung saja menginginkan posisi itu. Jadi, yasudahlah biarkan aku merasakannya tanpa berusaha untuk menghilangkannya. Barangkali bisa menjadi motivasi diriku ke depannya. Lalu apa lagi? Karena karir sangat berkaitan dengan uang tentu saja aku kembali memikirkannya. Bagaimana aku bisa meraih untuk dapat membeli kendaraan, laptop, gadget yang lain menunjang karirku. Belum lagi perkuliahan yang tidak murah. Rumah dan biaya pernikahan apalagi karena diriku seorang pria yang memiliki beban tanggungjawab untuk memberikan nafkah kepada istriku kelak. How I achieve that? It's difficult. Karir yang mentok disitu-situ saja, namun beban tanggungjawab yang makin meninggi. Saat kuliah aku tentu memikirkan hal itu, namun tak menghalangiku untuk terus berusaha, mengapa sekarang aku merisaukannya?

Terkait masa depanku kelak, itu pun berimbas pada pasanganku di masa mendatang. Aku benar-benar tidak bisa menyangkal aku memang sangat berbunga-bunga sedang menyukainya. Aku hanya bisa mengaguminya dari kejauhan. Apalagi terakhir aku melihat dirinya yang semakin percaya diri, it truly makes me fall in love deeply to her. Aku tidak bisa memaksakan juga perasaan yang muncul kepadanya. Aku tidak berusaha untuk melupakannya, juga tidak untuk terlalu mengejarnya. Jadi ya aku hanya menjalani sesuai apa yang aku yakini. Hal menariknya adalah mengapa aku merasakan hal yang tidak menyenangkan, tidak jelas apa perasaannya namun itu seperti rasa cemburu.

Lho, cemburu sama siapa?

I don't know, aku tiba-tiba saja merisaukan dirinya jika benar mempunyai sosok pria lain. Apa yang terjadi jika dia mempunyai sosok yang menyemangatinya, mengisi hari-harinya, atau selalu ada untuknya? Sementara aku pun ingin menjadi sosok itu.

Just say hi, right? Like you said in your latest post

Aku menginginkannya, aku bisa saja berani mengirimkannya pesan. Terus terang aku masih terbelenggu pada segel Tuhan. Aku tetap merasa bahwa jika menghubunginya kembali, hanya ada rasa sakit yang aku terima. Dia pernah mengatakan bahwa diriku too friendly kepada wanita. Aku pikir dirinya juga friendly pasti banyak pria yang menghubunginya, mengingat dia sering selfie dengan teman prianya saat kami menjalin hubungan. Belum lagi dirinya memang cerdas jadi sangat memungkinkan untuk menimpali semua pesan dari temannya membangun bahasan yang relevan. Lantas, mengapa aku harus kembali menghubunginya sedangkan jikalau aku say hi aku hanyalah salah satunya? Kenapa pikiran negatif ini muncul? Aku ingin menghubunginya, tapi tak bisa, tapi ngebet juga. Arrghhh.

Sudah tiga malam aku habiskan dengan OVT karena aku tak bisa tidur. Seingatku, jam-jam itu juga adalah jam dirinya terbangun sedang melukis mungkin. Bukannya itu waktu yang tepat untuk menghubunginya? Aku ingin membagikan semua yang aku pikiran kepada seseorang, namun bukan sembarang orang. Aku memang mempunyai teman yang bisa saja aku jadikan sebagai tempat untuk bercerita, tapi aku enggan untuk membagikan hal ini kepada semua orang. Aku sedang ingin membagikan hanya kepadanya. Lagi dan lagi aku terhalang oleh segel Tuhan. Jikalau Engkau berkenan, Tuhanku, tak mengapa aku saat ini terbebani oleh perasaan yang tidak menyenangkan ini. Pintaku adalah aku bisa mempunyai sosok wanita yang cerdas, dewasa, keibuan yang dapat melampiaskan cerita-cerita yang aku pendam selama ini. Untuk saat ini aku menginginkan dirinya, ya Allah. Juga aku tak bisa berhenti berpikir mengingat sudah 7 bulan aku sudah tidak melakukan kebiasaan buruk. Bisa disebut ya aku sedang mengalami period pada pria sehingga tidak karuan mood-nya. Semoga Engkau mendengarkan curahan saat ini ya Allah, I always believe in You. Aku ingin langsung saja masuk bulan September, agar aku segera menghilangkan ke-stagnan-an ini dengan kembali mengerjakan tugas. Tidak, aku hanya ingin segera pulang ke indekos dan do nothing. Keep cheers mein freund.